Menuruttarekat Naqsyabandiyah, boleh meminta pertolongan kepada syaikh-syaikh mereka, baik ketika masih hidup atau tatkala sudah mati, guna mengeluarkan mereka pada saat genting-genting dalam menghadapi berbagai himpitan hidup. Pengagungan yang diarahkan kepada kubur para syaikh mereka juga menjadi ajaran wajib para penganut tarekat ini. KetikaSirhindi berhasil mengukuhkan dirinya sebagai penerus Baqi' Billah di Delhi, Taj al-Din yang dianggap sebagai saingannya yang gigih dalam membela konsep wahdatulwujud, dengan kecewa meninggalkan Delhi kemudian menetap di Makkah. Di sana, seorang sufi yang cukup masyhur, Ahmad bin Ibrahim bin 'Allan, menjadi muridnya dan kemudian menjadi khalifahnya. orangsilsilah tarekat Naqsyabandiyah, mulai dari ruhani Nabi Muhammad Saw. sampai ruhaniyah ibu bapak dan sang murid sendiri. Lihat, Syeikh Angku buku ini berisikan panduan doa-doa dan khatam khawajakan se-bagai ritual akhir dalam zikir tarekat Naqsyabandiyah. Kedua, Martin van Bruinessen, Pontianak Jawa Timur, dan Madura. (2) Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah berasal dari Syeikh Ismail al-Minangkabawi. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, mengalami dua penggabungan tarekat (asimilasi) menjadi tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambasi (wafat 1875 M). AbdulWadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan: Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia (2013) menyebutkan kata "tarekat" berasal dari bahasa Arab yakni thariqah, yang berarti al-khat fi al-sya'i (garis sesuatu), al-sirath (jalan), dan al-sabil (jalan). Baca juga: Sejarah Politisasi Agama ala Nahdlatul Ulama. situs dewasa yang diblokir oleh kementerian komunikasi dan informatika. - “Ustaz Abdul Somad UAS ber-baiat thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah kepada Mursyid, Habib Luthfi bin Yahya Rois Aam JATMAN NU, hari ini di Pekalongan, Jawa Tengah,” tulis akun Instagram Nahdlatul itu berlangsung pada Jumat 8/2/2019. Dalam perjumpaan yang berlangsung sekitar satu jam, seperti dilaporkan iNews, UAS mengaku bahwa sebelumnya ia telah berbaiat tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Ia juga memperlihatkan silsilah tarekat Luthfi meminta UAS untuk memilih salah satu dari dua tarekat itu yang bisa diamalkan secara intens. Habib Luthfi menganjurkan tarekat Syattariyah. Tapi seperti dikabarkan akun Nahdlatul Ulama, UAS memilih tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Keterangan dari dua sumber itu ada perbedaan. Pertama menyebutkan “Qadiriyah wa Naqsabandiyah”, sementara satu lagi hanya menyebut “Qadiriyah”. Padahal kedua tarekat itu berbeda dan mempunyai sejarahnya masing-masing. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan formulasi dari dua tarekat, yakni Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Keduanya sampai hari ini masih hadir dengan jalan masing-masing. Di Indonesia, selain tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, tarekat Qadiriyah, tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat Syattariyah, masih terdapat tarekat-tarekat lainnya. Di antaranya yaitu tarekat Idrisiyah, tarekat Alawiyyah, tarekat Khalwatiyah, tarekat Rifa’iyah, tarekat Sammaniyah, dan tarekat Syadziliyah. Jatman Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah yang dipimpin Habib Luthfi merupakan organisasi yang menjadi wadah para pengamal tarekat yang mu’tabarah diakui. Organisasi ini berafilisi dengan NU. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia 2013 menyebutkan kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab yakni thariqah, yang berarti al-khat fi al-sya’i garis sesuatu, al-sirath jalan, dan al-sabil jalan. Sementara menurut situs resmi Jatman, tarekat adalah metode khusus yang dipakai oleh salik para penempuh jalan menuju Allah melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, pada mulanya tarekat adalah bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Ia memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad mengajarkan wirid dan zikir kepada Ali bin Abi Thalib atau sahabatnya yang lain. Selanjutnya, sahabat yang menerima pengajaran ini menyebarkannya sehingga jumlah penerimanya semakin bertambah dan meluas. “Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang mampu masuk hampir ke seluruh komunitas masyarakat Muslim. Ia kemudian menjadi perkumpulan khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat,” tulisnya. Sementara J. Spencer Trimingham, penulis The Sufi Order in Islam 1971, seperti dikutip Humam, berpendapat bahwa tarekat mulanya hanya metode gradual mistisisme kontemplatif dan pelepasan diri. “Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan yang pada awalnya belum mengenal upacara spesifik dan proses baiat apapun,” catat Fansuri sebagai Pelopor Tarekat pertama kali muncul di Nusantara diperkirakan pada paruh kedua abad ke-16 dan diperkenalkan oleh Syekh Hamzah Fansuri di Aceh. Ia penganut tarekat Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang merupakan keturunan Nabi Muhammad dari garis Hasan bin Ali. Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadan 470 H/1077 M memulai kehidupan sufinya di Baghdad. Di kota tersebut ia menjadi guru besar tarekat. Dari Aceh, tarekat Qadiriyah kemudian menyebar ke Banten dan Jawa Barat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, dalam tradisi rakyat Cirebon, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dipercaya pernah datang ke Jawa dan meninggal di pulau tersebut. Bahkan orang-orang dapat menunjukkan makamnya. “Ajaran-ajaran tarekat Qadariyah terdiri dari lima hal tinggi cita-cita, menjaga [diri dari] segala yang haram, memperbaiki khidmat kepada Tuhan, kuat pendirian, dan memperbesar karunia atau nikmat Tuhan,” tulis Humam. Dan kepada murid-muridnya, Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan 7 hal, yakni taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, rida, dan jujur. Sementara tarekat Naqsyabandiyah didirikan Muhammad bin Muhammad Baha-uddin al-Uwaisi al-Buhkhari al-Naqsyabandi, yang lahir Bukhara, Uzbekistan pada 717 H atau 1318 M. Naqsyabandi artinya lukisan. Nama ini diambil karena pendirinya dinilai oleh murid-muridnya pandai melukiskan tarekat sehingga mampu dimengerti. Syekh Yusuf al-Makassari 1626-1699 menurut Martin van Bruinessen dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis 1994 adalah orang Nusantara pertama yang menyebut tarekat Naqsyabandiyah dalam tulisan-tulisannya. Ia mempelajari tarekat ini di Nuhira, Yaman, melalui syekh Muhammad Abd al-Barqi’ al-Majazi al-Yamani. Dan di Madinah ia berbaiat tarekat Naqsyabandiyah kepada syekh Ibrahim tarekat Naqsyabandiyah baru menjadi sebuah organisasi di Nusantara pada paruh kedua abad ke-19. Selanjutnya, tarekat ini berkembang dalam pelbagai bentuk, yaitu Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Naqsyabandiyah Muzhariyah yang bersumber dari syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau dan Sayyid Muhammad Salih al-Zawawi. Salah seorang murid Sayyid Muhammad Salih al-Zawawi yang bernama Syekh Abdul Azim Manduri dari Madura mengembangkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat, khususnya di kalangan orang Madura. “Di samping itu, di Indonesia juga terdapat tarekat Naqsyabandiyah Haqqani yang dikenalkan oleh syekh Muhammad Hisyam Kabbani, khalifah syekh Anzim Adil Haqqani di Amerika Serikat. Pada 1997, beliau mengunjungi Indonesia dan kemudian hampir setiap tahun datang ke Indonesia,” tulis Humam. Menurutnya, di Indonesia orang yang pertama kali diangkat sebagai wakil syekh Nazim Adil adalah Musthafa Mas’ud. Setelah itu ia juga menunjuk beberapa wakil untuk sejumlah daerah di Indonesia, yaitu Taufiqurrahman al-Subki dari Wonopringgo Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, Ahmad Syahd dari Nagrek Bandung, dan al-Ustaz H. Wahfiuddin dari Jakarta. Syekh Khathib al-Sambasi dari Sambas, Kalimantan Barat membuat tarekat baru yang menggabungkan tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah dan menamainya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini, menurut Martin van Bruinessen, meski menggabungkan dua tarekat, tetap merupakan tarekat yang berdiri mengajarkan tarekatnya, Khathib al-Sambasi tak memisahkan antara tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Para murid mesti mengamalkannya secara utuh sebagai satu kesatuan. “Penyebaran tarekat ini di Indonesia diperkirakan mulai paruh abad ke-19, tepatnya pada tahun 1853, yakni sejak kembalinya murid-murid syekh Khattib al-Sambasi dari Mekah ke tanah air,” tulis Humam. Meski murid-muridnya dari Nusantara berasal dari sejumlah daerah seperti Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok, dan ia pun banyak mengangkat khalifah, menurut Bruinessen setelah Khattib al-Sambasi meninggal yang diakui sebagai pemimpin utama tarekat ini adalah syekh Abdul al-Karim al-Bantani dari Banten. Lalu pada 1970-an, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai empat pusat di wilayah Jawa, yakni di Rejoso, Jombang Kiai Musta’in Romli, Mranggen, Demak Kiai Muslikh, Suryalaya, Tasikmalaya Abah Anom, dan Pagentongan, Bogor Kiai Thohir Falak. Infografik Tarekat di Nusantara. Gerakan Politik Pada saat dipimpin Abdul al-Karim al-Bantani, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sangat populer di kalangan penduduk miskin di desa-desa. Kondisi inilah, menurut Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 1984, yang dimanfaatkan untuk membuat jaringan komunikasi dan koordinasi dalam pemberontakan petani di Banten pada 1888. “Syekh Abdul al-Karim sendiri, yang telah tinggal di Makkah sejak 1876, tidak ada sangkutan apa-apa dengan pemberontakan ini, tetapi salah seorang di antara murid-muridnya yang berwatak keras, yaitu Haji Marzuki, yang telah diangkatnya sebagai khalifah, dicurigai oleh Belanda sebagai salah seorang penghasut di balik pemberontakan tersebut,” tulis Bruinessen. Ia memperkirakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat beberapa pemberontakan karena tarekat ini berbeda dengan tarekat Naqsyabandiyah yang pada mulanya cenderung mencari pengikut dari kalangan elite. “Kiai Kasan Tafsir dari Krapyak dalam hubungannya dengan Peristiwa Sukoharjo, adalah seorang khalifah dari Abdul al-Karim Banten. Dan Guru Bangkol dari Lombok, penghasut utama di pemberontakan anti-Bali, telah dibaiat masuk tarekat yang sama oleh kakaknya Abdul Rahman dan sepupunya Thayib, yang keduanya telah belajar tarekat di Mekah,” imbuhnya. Contoh lain keterlibatan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam kancah politik, seperti ditulis Bruinessen dalam bukunya yang lain, yakni NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru 2008, adalah bergabungnya Kiai Musta’in Romli dari Rejoso, Jombang ke Golkar pada 1973. Pendirian sejumlah tarekat selalu diawali perjalanan belajar dan spiritual, termasuk yang dialami oleh Abdul Qadir al-Jailani tarekat Qadariyah, Muhammad bin Muhammad Baha-uddin al-Uwaisi al-Buhkhari al-Naqsyabandi tarekat Naqsyabandiyah, dan Ahmad Khathib al-Sambasi Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Perjalanan Abdul Somad ke Pekalongan menemui Habib Luthfi bin Yahya dan berbaiat tarekat, juga kunjungannya ke kediaman Maimun Zubair, disebut-sebut sebagai perjalanan spiritual. Namun, sejumlah kalangan menilai langkah ini berpotensi ditafsirkan sebagai jurus politik jelang Pilpres 2019. - Sosial Budaya Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan Khalwat, dalam bahasa kita mengandung dua makna yang bersilang jauh. Pertama, bermakna mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah dan seterusnya, dan kedua, bermakna berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di tempat sunyi atau tersembunyi. Kendati bersilang jauh, namun kedua makna tersebut bermuara pada satu titik temu, yakni sama-sama berada di tempat yang sunyi. Dan, sudah barang tentu yang menjadi kajian kita adalah khalwat dengan makna pertama. Khalwat bagi para pengamal Tarekat Naqsabandiyah adalah amalan wajib yang tidak dapat ditawar. Karena bagi mereka, seorang salik hamba yang tengah berupaya menuju esensi Allah dengan makrifatnya tidak akan pernah mencapai tujuan, yakni wushul ilallah kecuali dengan berkhalwat. Terkait pentingnya khalwat dalam prinsip Tarekat Naqsabandiyah, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili menulis sebuah statemen dalam Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Allamil Guyub hal. 552. Al-Kurdi mengatakan, إعلم أنه لا يمكن الوصول إلى معرفة الأصول وتنوير القلوب لمشاهدة المحبوب إلا بالخلوة خصوصا لمن أراد إرشاد عباد الله إلى المقصود Artinya, “Ketahuilah, bahwa seorang salik tidak mungkin sampai pada makrifat esensi Tuhan dan menerangi jiwa-jiwa tersesat kecuali dengan berkhalwat. Secara terutama bagi mereka yang sanggup mengemban amanah menunjukkan jalan yang benar kepada umat manusia.” Pendek kalam, bahwa para mursyid, kiai, dan guru yang mengajar dalam halaqah Tarekat Naqsabandiyah adalah orang-orang yang kemungkinan besar telah menempuh jalan khalwat. Mereka telah menemukan cahaya yang terpatri dalam kalbunya. Sehingga, tak sedikit pun ada caci maki, celaan, siaran kebencian dan seterusnya yang keluar dari lisan mereka. Tak heran jika banyak yang termangu-mangu saat melihat para mursyid Tarekat Naqsabandiyah-Maulana Habib Luthfi bin Yahya, misalnya-yang bersahaja dan penuh wibawa. Orang-orang yang melihatnya akan terpesona, mereka yang mendengar nasihatnya akan luluh dan segera menyadari kesalahan tanpa diminta. Sekilas Riwayat Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Syekh Muhammad Amin bin Syekh Fathullah Zadah al-Kurdi al-Irbili adalah seorang pemuda Irbil yang tumbuh sebagai seorang asketis besar. Ia lahir di sebuah kota bernama Irbil-dekat kota Mosul-di Negeri Irak. Tiada yang dapat memastikan terkait tanggal dan tahun lahirnya. Mengingat, jejak sejarah yang telah terhapus, sehingga tidak mudah untuk menelusurinya. Namun karena Syekh Muhammad Amin wafat pada 1332 H/1914 M, maka sebagian sejarawan memperkirakan bahwa al-Kurdi lahir pada paruh kedua abad ke-13 hijriah. Syekh Muhammad Amin hidup di tengah keluarga yang taat beragama. Bahkan, ia belajar al-Qur’an kepada ayahnya sendiri, Syekh Fathullah. Ayahnya yang karib disebut dengan gelar al-arif billah ini adalah seorang asketis penganut Tarekat Qadiriyah, tarekat yang dinisbatkan pada Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sejak kecil, al-Kurdi tumbuh sebagai anak yang taat, ia menghabiskan masa mudanya untuk mendapatkan ridha Allah sesuai tuntunan sang ayah dan para gurunya. Sehingga, pada akhirnya ia menjadi seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah. Sepeninggalnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Salamah al-Azami. Kemudian dilanjutkan lagi oleh putranya sendiri, Syekh Najmuddin al-Kurdi. 20 Syarat Khalwat Menurut Syekh Al-Kurdi Tarekat Naqsabandiyah adalah tarekat yang memiliki banyak pengikut, khususnya di Indonesia. Di banyak belahan dunia mengakui kualitas tarekat ini. Bukan hanya sekadar klaim dari para pengikutnya, melainkan disebutkan langsung oleh seorang imam besar Tarekat Naqsabandiyah, Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi. Ia mengatakan, bidayatu thariqatina, nihayatu sairit thuruq fase pemula di tarekat kami adalah fase puncak bagi tarekat yang lain. Statemen ini jelas menggambarkan tingginya kualitas Tarekat Naqsabandiyah. Kendati mungkin statemant itu sedikit bercampur fanatisme dan cintanya kepada Naqsabandiyah. Mengingat, Sayyid Bahauddin bicara dalam kapasitas sebagai petinggi tarekat tersebut. Tarekat yang berkualitas tinggi ini, tidak lepas dari satu ajaran pamungkas yang disebut khalwat. Khalwat yang bukan sekadar menyepi. Tetapi memiliki banyak syarat dan ketentuan. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi menulis 20 syarat khalwat dalam Tarekat Naqsabandiyah yang harus dipenuhi sebelum dan akan terus berlangsung hingga khalwatnya selesai. Berikut di antaranya; 1 berniat memutus rantai riak dan sumah secara lahir batin. 2 memohon izin dan sambungan doa kepada mursyidnya. 3 harus terbiasa dan terlatih untuk menyendiri, tidak tidur malam dalam kondisi tidak kenyang dan sambil berzikir. 4 di hari pertama masuk ruang khalwat harus melakukan satu ritual yang sudah diajarkan dengan cara tertentu akan kami jelaskan di akhir tulisan, insya Allah. 5 harus selalu suci, alias daimul wudhu’. 6 membuang jauh keinginan mendapat kekeramatan. 7 selama ritual, tidak boleh bersandar ke dinding. 8 harus mampu membayangkan sosok mursyidnya tepat berada di hadapannya. 9 harus dalam kondisi berpuasa. 10 harus puasa bicara, kecuali saat berzikir atau ada bahaya. 11 selalu menyadari kehadiran keempat musuhnya; setan, dunia, hasrat rendah dan nafsu. 12 menjauh dari suara dan kegaduhan. 13 tidak boleh absen shalat jamaah dan jumat. 14 saat keluar dari tempat khalwat, kepalanya harus terus merunduk. Melihat ke tanah. 15 tidak boleh sengaja tidur, apalagi bermaksud merehatkan badan. Melainkan tertidur tanpa sengaja dan dalam kondisi suci. Bahkan, jika mampu sebaiknya tidur sambil duduk. 16 selalu menjaga stabilitas antara lapar dan kenyang. 17 tidak membuka pintu bagi siapa pun yang bermaksud ngalap berkah, kecuali gurunya. 18 memandang bahwa setiap nikmat yang ia peroleh berasal dari gurunya yang itu bersumber dari baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. 19 membuang seluruh lintasan hati, entah itu perkara baik atau buruk. Alias senantiasa berada dalam kepasrahan. 20 tidak pernah berhenti berzikir-dengan cara-cara tertentu-sampai sang mursyid memerintahkannya keluar atau berhenti berkhalwat. Berikut kaifiat ritual dalam syarat keempat; 1 masuk tempat khalwat dengan kaki kanan seraya membaca taawuz dan basmalah, lalu membaca Surat An-Nas tiga kali. 2 lalu memasukkan kaki kiri sambil membaca doa berikut; اللَّهُمَّ وَلِيِّ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَارْزُقْنِيْ مَحَبَّتَكَ اللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ حُبَّكَ وَاشْغُلْنِيْ بِجَمَالِكَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلَصِيْنَ اللَّهُمَّ امْحُ نَفْسِيْ بِجَذَبَاتِ ذَاتِكَ يَا أَنِيْسَ مَنْ لَا أَنِيْسَ لَهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ 3 berdiri di atas tempat shalat dan membaca doa berikut 21 kali; إَنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ 4 lalu shalat dua rakaat; rakaat pertama membaca surah al-Fatihah dan ayat kursi. Sedang rakaat kedua membaca Surat Al-Fatihah dan ayat amanar rasulu QS. As-Baqarah 2285. 5 setelah salam, membaca doa Ya fattah 500 kali. Kemudian melanjutkannya dengan wirid yang telah diberikan sang mursyid. Semoga manfaat. Wallahu a’lam bis shawab. Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo, dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB. JAKARTA - Tarekat Naqsyabandiah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam dan mendapat banyak pengikut. Di Indonesia, penyebaran tarekat ini terutama terjadi pada abad ke-19 melalui jamaah haji dan pelajar-pelajar Indonesia di abad ke-19, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naqsyabandiah di bawah pimpinan Sulaiman Zuhdi. Saat itu sekitar tahun 1837 Tarekat Naqsyabandiah sedang berkembang pesat di Arab Saudi. Markasnya terletak di kaki gunung Abu Qubaisy Jabal Qubaisy. Setelah Sulaiman Zuhdi berpulang, silsilah ketarekatan dilanjutkan oleh putra beliau, Ali Ridla. Ketika kepemimpinan berada di tangan Sulaiman Zuhdi inilah ada sejumlah murid yang berasal dari nusantara, terutama Sumatra dan Jawa. Di antaranya Sulaiman Hutapungkut dari Kota Nopan, Tapanuli Selatan, dan Muhammad Hadi Girikusumo dari Demak, Jawa Tengah. Mereka berdua yang pertama kali mengenalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiah di J Spencer Trimingham pernah menyebutkan bahwa sekitar tahun 1845, seorang syekh Naqsyabandiah dari Minangkabau dibaiat di Makkah. Menurut Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Tarekat Naqsyabandiah yang dipimpin oleh Sulaiman Zuhdi di Makkah mempunyai banyak pengikut yang berasal dari berbagai daerah seperti Turki, Hindia Belanda, dan Malaysia. Sulaiman Hutapungkut sekembali dari Jabal Qubaisy mengembangkan tarekat ini di Sumatra. Kepemimpinan beliau kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Muhammad Hasyim al-Khalidi. Sebagai kelanjutan pendidikannya, Muhammad Hasyim diperintahkan oleh gurunya, Sulaiman Hutapungkut, untuk berguru kepada Ali Ridla di Jabal Qubaisy. Dikabarkan Muhammad Hasyim tekun menuntut ilmu, mendalami syariat dan hakikat, serta memperoleh Muhammad Hadi Girikusumo mensyiarkan ajarannya di Demak dan sekitarnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Girikusumo pada 1836. Pesantren Girikusumo pada awal didirikannya fokus pada kajian ilmu tasawuf. Kemudian berkembang menjadi pesantren salaf, yang tidak cuma mengajarkan tasawuf, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab kuning, seperti halnya pesantren salaf lain di versiTarekat Naqsyabandiah di Indonesia terus berkembang dan mengambil bentuk yang tidak sama persis dengan daerah asalnya. Secara garis besar dikenal dua versi Tarekat Naqsyabandiah, yakni Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah dan Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah. Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah berkembang luas di wilayah Sumatra. Sementara Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah berkembang di luar wilayah bawah kepemimpinan Hasyim al-Khalidi, Naqsyabandiah menjadi Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah. Penyebarannya mulai dari daerah asalnya, Simabur Batusangkar, Sumatra Barat, kemudian ke wilayah Kerajaan Langkat dan Deli, hingga ke Kerajaan al-Khalidi mengangkat Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi sebagai mursyid menggantikan dirinya. Di bawah kepemimpinan Syekh Kadirun Yahya ini penyebaran Naqsyabandiah Khalidiah semakin luas, bahkan murid-muridnya ada yang berasal dari Amerika. Maka, untuk memudahkan pengorganisasian, terkait aktivitas sosial-kemasyarakatan, dibuatlah wadah yayasan yang diberinama Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Sedangkan ajaran tarekat yang dikembangkannya, dipopulerkan oleh murid-muridnya sebagai Tarekat Naqsyabandiah Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Adapun Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah bersumber dari Muhammad Saleh az-Zawawi. Penyebaran tarekat ini sangat luas hingga ke berbagai penjuru dunia. Muridnya sangat banyak, antara lain, Syekh Abdul Murad Qazani Turki, yang menurunkan ulama Tarekat Naqsyabandiah, yakni Abdul Aziz bin Muhammad Nur yang berasal dari Pontianak, Ja'far bin Muhammad dari Kampung Tanjung Pontianak, Ja'far bin Abdur Rahman Qadri dari Kampung Melayu Pontianak, dan Abdul Azim Manduri dari Madura yang berjasa besar menyebarkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat. sumber Pusat Data Republika B. Tarekat Naqsyabandiyah Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berkembang pesat di Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Tarekat naqsyabandiyah merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya, berbeda dengan tarekat lain tarekat naqsyabandiyah tidak hanya menyeru kepada lapisan social tertentu saja. Para pengikutnyaa berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pendesaan, di kota-kota kecil serta juga di kota-kota besar dan dari semua kelompok profesi.[1] Asal kata tarekat dalam bahasa Arab adalah thariqah yang berarti jalan keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[2] Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqah menarik perhatian kaum sufi dan mereka menjadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Harun Nasution berpendapat bahwa, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dala tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti sebagai organisasi tarekat. Tiap thariqah mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri[3] Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan paduan yang khas dari dokrin, metode, dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu kepada organisasi yang manyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah thariqah terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, di Indonesia kata tarekat mengacu kepada keduanya.[4] 2. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf Ilmu tasawuf yang didalamnya membicarakan bahwa istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang Syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang Syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam,seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[5] Di dalam tarekat yang sudah melembaga, tarekat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, zakat, puasa, jihad, haji dan lain-lain, ditambah pengalaman serta seorang Syekh. Akan tetapi semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang Syekh melalui bai’at.[6] Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru atau Syekh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahannya mendekatkan diri kepada Allah. 3. Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi 717 H/1318 M, dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. al-Bukhari Nasyabandi berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Al- Bukhari mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah al-bukhari lahir segera dibawa oleh Ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Al- Bukhari belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian al-Bukhari belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah al-Bukhari pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Al- Bukhari pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748/1347 M, al- Bukhari pergi ke Ziwartun. Disana al-Bukhari mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuan tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[7] Sebagaimana tersebut dibawah ini “Tatkala Syekh Muhammad al-Samasi meninggal dunia, aku dibawa nenekku ke Samarkand, disitu aku dipertemukannya dengan seorang alim lagi sholeh, meminta restu semoga aku didoakannya. Keberkatannya Alhamdulillah sudah kuperoleh. Kemudian aku dibawanya ke Bukhara dan mengawinkanku dengan seorang wanita. Namun aku tetap bermukim di Qashrul’Arifah. Aku mendapat khabar bahwa Syekh Muhammad Baba al-Samasi telah memesankan kepada Sayyid Kulal supaya mengajari dan mendidikku dengan baik. Sayyid Kulal berjanji akan memenuhi amanah itu dengan menegaskan jika pesan itu tidak dilaksanakan maka ia bukanlah seorang laki-laki. Dan ternyata janjinya itu dipenuhi.[8] Pendidikan Baha’al Din Naqsyabandi dari kedua guru utamanya yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuat al bukhari mendapatkan mandate yang cukup sebagai pewaris tradisi Khawajagan. Khawajagan mempopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Walaupun al- bukhari mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan bangsawan, namun al-bukhari membatasi dirinya dalam pergaulannya dengan mereka. Sekalipun demikian ia tetap sangat dihormati oleh para penguasa. Di kampong halamanya memiliki sepetak tanah, yang dikelola dengan bantuan orang, tetapi tidak pernah terlibat sendiri dalam pengelolaanya. Al-bukhari hidup sederhana dan jika ditanya mengapa ia tidak memiliki seorang hamba laki-laki atau perempuan, ia menjawab, rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian. Selain itu ia pun sangat memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya dan tidak suka jika mereka memiliki niat yang jelek atau hubungan yang buruk dengan orang lain. Sekali waktu ia meminta pertanyaan maaf dari seseorang atas nama muridnya karena menggosokkan wajahdinding rumahnya. Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya Baha al-Din mengatakan bahwa ia berpengang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwav sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme tauhid, tetapi sangat sulit mencapi makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pengetahuan dan pengalaman spiritual.[9] a. Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Di dalam mempelajari sebuah tarekat, para pengikut tarekat mengaku bahwa dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari pada Nabi sendiri, para pengikut sebuah Tarekat memandang penting urutan-urutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar Tarekat secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasa disebut sebagai silsilah. Setiap guru dalam sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, menunjukkan kecabang tarekat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru lainnya. Silsilah tarekat naqsyabandiyah bersambung dari Rasulullah kepada Sayyidina Salman al-Farisi dan seterusnya sampai kepada ahli silsilah terakhir. Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau Syekh dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan dalam rantai master terus kembali kepada Nabi Saw, adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi-untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang untuk generasi murid penerus. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, beliau berasal dari Arbile, sebuah kerajaan di Irak, dalam kitabnya Tanwirul Qulub, menyatakan silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang dianutnya, sampai kepada Rasulullah Saw tersebut secara silsilah adalah sebagai tersebut Muhammad Abu Bakar al-Shiddiq Salman al-Farisi Qasim Ibn Muhammad Bakar al-Shiddiq Ja’far al-Shadiq w. 148/765 Abu Yazid Thaifur al-Bisthami w. 260/874 Abul-Hasan al-Kharaqani w. 425/1034 Abu’Ali al-Farmadzi w. 477/1084 Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani w. 535/1140 Abd al-Khaliq al-Ghujdawani w. 617/1220 A’rif al-Riwgari w. 657/1259 Mahmud Anjir Faghnawi w. 643/1245 atau 670/1272 Azizan’Ali al-Ramitani w. 705/1306 atau 721/1321 Muhammad Baba al-Sammasi w. 740/1340 atau 755/1354 Amir Sayyid Kulal al-Bukhari w. 772/1371 Muhammad Baha’al-Din Naqsyabandi 717-791/1318-1389[10] Silsilah adalah nisbah hubungan guru-guru tarekat sambung menyambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh para pengikut tarekat. Silsilah atau sanad juga merupakan hubungan keturunan ilmu tarekat dari satu guru ke guru tarekat yang lain seperti contohnya, sanad zikir thoriqah yang pertama kali diajarkan adalah Allahu…Allahu, yang pertama kali diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib sesuai diterima dari Rasulullah Saw. kemudian Hasan al-Basri mengajarkannya kepada Habib al-Ajami, kemudian Habib al-Ajami mengajarkan kepada Dawud, dan Dawud mengajarkan kepada Ma’ruf, inilah yang dikatakan dengan silsilah. Silsilah dalam sebuah tarekat adalah geneologi otorita spiritual. Silsilah menjelaskan jalur penerimaan tarekat oleh seseorang dengan demikian, silsilah berfungsi sebagai identitas keotentikan sekaligus sebagai sumber otoritas seseorang dalam tarekat.[11] a. Fungsi silsilah dalam tarekat naqsyabandiyah fungsi silsilah dalam sebuah tarekat yaitu untuk mengetahui silsilah guru-gurunya, supaya tidak terlepas dari ajaran yang sudah diterapkan dalam sebuah tarekat. Karena fungsi utama dari sebuah silsilah itu yaitu untuk menjaga validitas dan otentisitas ajaran tarekat agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama yaitu Rasulullah Saw. Silsilah tarekat berisi rangkain nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang di serahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk dan peringatan serta sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat sekaligus merima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain. Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan peran “wasilah” yaitu medeasi perantara, melalui seorang pemimping spiritual atau mursyid sebagai sesuatu yang sangat di perlukan demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pemimbing spiritual dan para pendahulu sang pemimbing, termasuk yang paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat di andalkan yang dapat menjadi wasilah yang dapat mengantarkan kepada Tuhan.[12] 4. Perkembangan dan Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Dalam perkembangan dan penyebarannya di Nusantara, tarekat naqsyabandiyah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain; gerakan pembaharuan, dan politik. Penaklukan Makkah oleh Abd al-Azizi bin Sa’ud pada tahun 1924, berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat naqsyabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintahkan oleh kaum Wahabi yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat di Makkah bagi para jamaah haji khususnya dari Indonesia yang dari setiap generasi banyak dari mereka yang masuk tarekat. Syekh Yusuf Makassari 1626-1699 merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al-Najah, ia menerima ijazah dari syekh Muhammad Abd al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat kettika berada di Madinah di bawah bimbingan syekh Ibrahim al-Karani. Syekh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerjaan di daerah itu.[13] Tarekat naqsyabandiyah yang menyebar di Nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jamaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran dan perkembangan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara telah hadir sejak dua setengah abad yang lalu. Pada masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik secara geografis maupun dalam jumlah pengikutnya. 5. Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di seluruh Aceh, pengaruhnya paling besar terutama ada di Aceh Barat dan Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan seorang syekh dan politisi yang kharismatik, Muda Wali Haji Muhammad Wali al-Khalidy lebih dikenal dengan sebutan Muda Wali, ialah orang pertama kali yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh. masyarakat Aceh lebih mengenal tarekat ini dengan sebutan tarekat naqsyabandiyah khalidiyah karena dinisbatkan kepada nama belakang Muda Wali. Haji Muhammad Waly al-Khalidy dilahirkan di desa Blangporoh, kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917.[14] Muda Wali berasal dari pesisir Barat Aceh, yang sebagian penduduknya telah mengalami proses pembaharuan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tetapi belum diterima sebagai orang Aceh sejati tapi lebih dianggap sebagai tamu atau pendatang dan sebagai keturunan Minangkabau oleh tetangga mereka di Utara. Namun, mereka pun dibedakan dari perantau Minang yang belum berapa lama tinggal disana. Dia belajar di Minangkabau kepada gurunya Jamil Jahu pendiri PERTI dan menikahi putri gurunya Rabi’ah dan belajar pula di Kampar kepada syekh Abdul Ghani dari Batu Basurat. Beliau mengajarkan tata laksana Tarekat naqsyabandiyah serta mengangkat Muda Wali sebagai khalifah utama. Setelah Muda Wali sudah merasa cukup matang belajar di Padang ia kembali ke kampung halaman Aceh tepatnya di Aceh Selatan pada awal 1940. Kemudian ia mendirikan sebuah dayah yang bernama Darussalam di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka ia menjadi penggerak PERTI di Aceh, terutama berkat upaya istrinya Rabi’ah seorang perempuan yang sangat cerdas dan terbuka serta mempunyai naruli politik yang tajam bersama-sama dengan sekutunya Nyak Diwan Tgk. Usman Paoh, Cut Zakaria, Tgk. Bahrunsyah, mereka melakukan kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Aceh dan belakangan di Aceh Besar. Salah satu tujuan utamanya adalah menangkap pengaruh Muhammadiyah yang sudah tumbuh. Dalam perjuangan ini, Muda Wali telah mendapatkan semua pertolongan dari semua muslihat yang tercantum dalam kitab Kiai. Perkawinan-perkawinannya semuanya betul-betul strategis. Istri keduanya ialah keponakan dari sahabatnya, Usman Paoh yang ketiga adalah Rabi’ah. Salah satu kecaman di Aceh Selatan dimana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng. Di sini tinggal Nur Hayt, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka, Muda Wali mengawinkan istri keempat disini, demi memperoleh pijakan. Strategi itu berjalan lancar dan Muda wali ingin mengulanginya di Tenong, kubu pertahanan Muhammadiyah yang lain. Supaya tetap sah, dan muda wali harus menceraikan seorang istrinya yang terdahulu, maka muda wali meninggalkan Rabi’ah sebagai gantinya dan muda wali pun mengambil seorang gadis dari Tenong. Upaya Muda Wali menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas wali mengangkat beberapa politisi PERTI yang lebih muda, seperti Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan dan Tgk. Jailani sebagai Khalifahnya. Khalifah yang lainya termasuk putra mursyid-nya sendiri, Aydarus Ghani di Kampar, dan dua orang lagi Qamaruddin dan Abdul Hamid, dan Tgk. Usman fauzi di Lung Ie dekat Banda Aceh. Namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungya, Muhibbuddin Wali, yang diberi ijazah khalifah oleh gurunya sendiri Syaikh Ghani di Kampar. Langkah-langkah yang digunakan oleh para Mursyid dalam menyebarluaskan Naqsyabandiyah ialah dengan halaqah diberbagai tempat balai pengajian diseluruh Aceh sesuai dengan tempat tinggal Mursyid itu sendiri. Pada tahap awal masyarakat diajarkan ilmu tauhid dan fiqih secara mendalam, kemudian baru dikenalkan dengan ilmu tasawuf dan ketika masyarakat sudah haus untuk mendekatkan diri kepada Allah, saat itulah Naqsyabandiyah diselipkan sebagai sarana mereka menuju jalan makrifatullah Tantangan terbesar dalam menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, diperdapat oleh Tgk. Usman Fauzi di kawasan Aceh Besar dan sekitarnya yaitu mendapat kecaman dari kalangan terpelajar di Kopelma Darusalam, mereka merasa asing dengan hadirnya Tarekat Naqsyabandiyah yang mengenalkan metode zikir dan sangat mengutamakan Rabitah Mursyid hal ini menyebabkan naqsyabandiyah dianggap salah satu aliran sesat dan Dayah Lueng Ie di ancam akan di bakar oleh masyarakat. Oleh karena itu, hasil musyawarah Usman Fauzi dengan Muhibuddin Wali mereka meminta bantuan dari Partai PPP. Namun karena ketidakmampuan partai PPP menolak memberikan perlindungan terhadap dayah tersebut, usaha Usman untuk menyelamatkan Naqsyabandi tidak berhenti disitu ia meminta bantuan kepada partai Golkar dan dikabulkan, dengan syarat Usman memberikan dukungan penuh terhadap Golkar. Sejak wafat Muda Wali 1961, putranya Muhibbuddin, secara formal menjadi yang paling dihormati diantara para khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, Usman Fauzi menjadi Mursyid terkemuka di Aceh demi kepentingan praktis. Sudah barang tentu ia juga merupakan tokoh PERTI terkemuka di Aceh dan anggota DPRD. Tgk. Usman juga bergabung dengan PPTI-nya Haji Jalaluddin Pada tahun 1971 ketika organisasi ini telah menjadi naungan partai Golkar, dan menjadi ketua untuk wilayah Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk Usman menjadi seorang pendukung PPP yang kemudian beralih ke Golkar dan siap menghadapi pemilu 1982.[15] Muhibuddin bersama dengan Usman Fauzi berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak orangtua menarik pulang anak-anak mereka dari dayahnya dan mengirim ketempat yang lain seperti Lam Ateuk dan Samalanga. Tetapi murid-murid pengikut setia Naqsyabandiayah tetap tinggal bersama Usman. Kedua tokoh besar ini memberikan dukungan penuh kepada Golkar bukannya kepada PPP sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Di dayah Usman Fauzi melaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, keduanya antara shalat isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah yang datang bersuluk selama 20 hari jauh lebih banyak, semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan didominasi oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka datang dari golongan petani-petani kecil dan segaian kecil dari kalangan elit Di pesisir utara Aceh, suluk sesungguhnya tidak pernah menjadi populer, seperti layaknya di pesisir Barat, khususnya di bagian paling selatan Aceh Selatan dan Tenggara. Suluk merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa di pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, biasanya begitu selesai panen ke dayah di Labuhan Haji atau dayah yang lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya untuk sehari atau beberapa hari saja.[16] Salah satu yang menjadikan Tarekat Naqsyabandi tetap berjalan di Aceh ialah usaha keras dari Muda Wali sendiri. Salah satu usahanya tergambar dalam salah satu wasiatnya sebelum ia dipanggil oleh Allah Swt. Wasiat itu ialah seseorang yang mempelajari Islam tidak semata-mata mempelajari syari’at, fiqih, dan tauhid. Tetapi harus dibentengi oleh ilmu tasawuf. Nilai-nilai ilmu tasawuf tersebut ialah mengamalkan tarekat mu’tabarah, seperti Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan bagi murid-muridnya supaya memasuki tarekat dan berkhalwat, sesuai tuntunan beliau bedasarkan ilmu akhlak dan tasawuf. [1] MA, dkk, Sufi Perkotataan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern Jakarta Perpustakaan Nasional, 2007, 3. [2]M. Solihin dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf Bandung Pustaka Setia, 2011, 203. [4]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia…, 61. [7]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia Jakarta Prenada Media, 2006, 90. [10]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Bandung Perpustakaan Nasional,1992,50. [11]Hidayat Sireger, Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Abdul Wahab Rokan Sejarah,Ajaran, Amalan dan Dinamika Perubahan Miqot Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2011, 59-60. [13]Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia…, 95-96. [14] Muhibbuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy teugku syekh Haji Muda Waly malasyia Selangor Darul Ehsan,1993, 56. [15] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy…,120. [16] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad al-Khalidy…,90 0% found this document useful 0 votes4K views80 pagesDescriptionsiapa yang boleh bantu anaCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes4K views80 pagesSilsilah Tarekat Naqsyabandiyah AlqolidiyahJump to Page You are on page 1of 80 You're Reading a Free Preview Pages 8 to 30 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 37 is not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 41 to 45 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 49 to 52 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 61 to 76 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

doa silsilah tarekat naqsyabandiyah